"Carazel Rodrick,"
Matanya terbelakak mendengar pria tua berseragam tentara negara menyebutkan namanya yang sama dengan nama negaranya, Carazel. Pria tua itu masih saja menyebutkan nama-nama anak muda yang terpilih menjadi tentara yang akan segera dilatih untuk membela negaranya melawan negara adikuasa, Stetzler.
Tubuhnya seketika menjadi lemas, wajahnya pucat pasi. Dalam pikirannya dia bertanya-tanya siapakah yang mendaftarkan dirinya. Carazel sama sekali tidak peduli akan negaranya. Negara yang menurutnya tidak berpikir panjang yang menentang kekuatan negara Stetzler, negara yang maju dari persenjataannya serta bisa menghancurkan negara-negara yang terdahulu menentangnya.
"Yang namanya telah disebut, harap segera berkumpul di markas kami. Selamat kalian telah terpilih untuk menjadi pembela negara." Ucap pria itu sambil menggulung kertas daftar nama.
Dia masih saja berdiri di tengah hamparan penduduk Carazel yang sudah sekarat karena serangan negara Stetzler yang tiada ampun itu. Seorang wanita menghampiri pria yang masih terkejut itu.
"Razel, kenapa kau tega melakukan ini semua?" Tanya Carolina yang mendorong-dorong Carazel sambil meneteskan air mata.
"Sumpah, Carol. Aku sama sekali tidak tahu! Aku bahkan tidak mendaftarkan diri!" Jawab Carazel yang mencoba menenangkan Carolina.
Carazel merangkul Carolina, "Aku tidak akan melakukan ini padamu."
Carolina menepis lengan Carazel. Carolina membalikkan badannya sambil tetap menangis, "Pulanglah dengan selamat. Aku mohon."
Carazel memeluknya dari belakang, "Tunggu aku. Aku akan pulang. Aku akan membuktikan kepada ayahmu bahwa aku bisa meminangmu."
*
Carazel yang dipenuhi keputusasaan itu melangkahkan kakinya ke markas pangkalan tentara muda yang akan dilatih untuk siap bertarung melawan negara stetzler. Bangunan kokoh yang merupakan markas besar prajurit Carazel yang siap mempertaruhkan nyawanya demi membela negaranya, Carazel, negara yang tidak mau tunduk kepada negara Stetzler. Carazel melihat pemuda-pemuda yang lainnya sudah siap membawa ransel dan kunci kamarnya. Carazel mencari papan pengumuman untuk melihat dimana dia akan tinggal. Pria berbadan besar menyenggolnya secara sengaja sambil meringis tidak bersahabat. Carazel hanya menolehnya dan tidak menghiraukannya, hal itu membuat pria berbadan besar itu semakin jengkel dan melototi Carazel.
Carazel mengangkat dagunya seakan menerima tantangannya.
"Berani sekali kau!" Seru pria berbadan besar itu membusungkan dadanya, terlihat sebuah tanda burung elang di dadanya tersebut. Pria itu adalah seorang Jenderal. Nyali Carazel pun menciut.
"Maaf, Jenderal! Aku sama sekali tidak bermaksud!" Sahut Carazel mengangkat tangan kanannya ke atas sebagai tanda hormat dan menghentakkan kakinya.
"Pria lemah sepertimu akan ku gempur sampai kau menyesal dan ingin pulang ke pelukan kekasihmu sambil menangis." Ucap Jenderal itu tertawa jahat.
"Dreziel, jangan kau menakuti orang baru seperti itu." Ucap perempuan dengan rambut cepak dan tato naga pada lehernya, perempuan itu mengenakan seragam kolonel dengan sepatu boots yang dilumuri lumpur. Di tangannya, dia mengenggam senjata senapan yang lebih besar dari lengannya itu sendiri. Carazel terpesona dengan perempuan yang mencolok itu. "Dan kamu, anak muda. Lebih baik jangan mencari masalah dengan Jenderela Dreziel." Lanjut perempuan itu sambil mengedipkan satu matanya.
Carazel hanya mengangguk. Dia hadapannya berdiri dua orang yang memiliki kedudukan penting.
"Tenang saja, aku hanya ingin mempermainkan anak baru di sini! Siapa namamu, nak?" Ucap Jenderal Dreziel memberi senyuman sambil menepuk pundak Carazel.
Carazel menghela napas lega. Tubuhnya serasa lemas. "Namaku Carazel Rodrick!"
"Carazel?" Tanya Kolonel perempuan itu sambil tertawa. "Nasionalisme orang tuamu sangat tinggi juga, yah?"
Carazel hanya mengangguk sopan tidak mau mencari masalah, nyalinya semakin pudar. Dia sudah berada di tempat yang asing dan menyeramkan. Dia tidak tahu apa yang akan dia terjadi pada dirinya sendiri keesokan harinya. Terbayang wajah Carolina yang putih dengan pipi yang berwarna merah merona, rambut pirangnya yang panjang ikall selalu membuat iri perempuan yang lain di desanya. Carazel selalu mengagumi mata Carolina yang berwarna hijau. Tubuhnya yang mungil yang selalu berada didekapan Carazel. Sampai akhirnya Carazel melamar Carolina dan mereka berduaa bertunangan. Carazel berjanji tidak akan meninggalkan kekasihnya dan tetap akan menikahinya walaupun perang sedang berkecamuk di negaranya.
"Attalea Zollandy," ucap Kolonel perempuan itu membuyarkan pikiran Carazel.
"Maaf?" Tanya Carazel yang tidak memperhatikan ucapan Kolonel.
"Tadi aku bilang nama Jenderal mu ini Dreziae Yoract, aku Attalea Zollandy." Jawab Attalea mendekati Carazel. "Ternyata kamu tampan juga, ya."
"Ayolah, Kolonel. Jangan menggoda anak baru." Pinta Dreziel. "Carazel, besok kamu akan ditempa dengan spesial oleh kami berdua. Persiapkan dirimu." Ucap Dreziel dengan nada yang membuat Carazel merasa terintimidasi. Carazel tidak tahu apakah itu ironi atau tidak. Ucapan Jenderal Dreziel membuat Carazel semakin merasa mual dan ingin pulang kembali. Kedua atasannya pun pergi meninggalkan Carazel.
Carazel melihat papan pengumumannya, dia mendapatkan kamar di Bangunan Delta dengan nomor kamar 00798. Dia melihat di bawah namanya terdapat nama yang lain, Set Lei. 'Nama yang aneh', pikir Carazel. Dia pun mengambil kuncinya di tempat yang sudah tersedia.
Carazel menelan ludahnya dan dia akhirnya menemukan kamarnya. Setelah masuk ke dalam kamar, Carazel melihat pemuda yang seumuran dengannya sedang membereskan tempat tidurnya. Pemuda itu sambil mengunyah permen karet memberi salam kepada Carazel. Badannya pun tidak jauh berbeda dengan Carazel. Rambutnya panjang dan lurus diikat seperti kuda, matanya sedikit sipit.
"Hei," salamnya singkat.
Carazel pun menjawabnya, "Hei." Carazel menaruh ranselnya di tempat tidur yang masih tertata rapi. Dia pun merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Sebenarnya aku tidak mengharapkan akan dilatih oleh Jenderal Dreziel dan Kolonel Attalea. Mereka dikenal sebagai pasangan pelatuh tersadis. Walaupun yang didik oleh mereka pasti menjadi prajurit yang handal, tetap saja aku tidak mau." Ucap pemuda itu menghampiri Carazel. "Malah ada desas-desus mereka agen ganda!"
Carazel tidak menghiraukannya dan membiarkan teman sekamarnya itu berbicara sesukanya. Carazel pun memejamkan matanya dan berharap bisa melewati hari-hari latihannya dengan tenang. Seperti yang diinginkan Carolina, Carazel hanya ingin pulang dengan selamat dan menikah dengan kekasih hatinya, Carolina.
-To be Continued-